Posisi pemimpin di dalam setiap organisasi selalu dianggap strategis, tidak terkecuali di organisasi IPNU-IPPNU. Sudah banyak bukti, bahwa suatu organisasi, baru menjadi tampak dinamis dan penuh inovatif tatkala memiliki pimpinan yang kaya ide dan prakarsa. Oleh karena itu sementara orang memandang bahwa keadaan organisasi sesungguhnya merupakan cermin pimpinannya. Jika pimpinannya bagus maka anggotanya juga akan bagus. Jika terdapat organisasi yang stagnan, tidak ada perkembangan, orang menyebutnya pathok bangkrong, maka sesungguhnya hal itu disebabkan oleh faktor kepemimpinannya itu.
Berangkat dari pandangan itu maka ketika memilih pimpinan, tidak sepatutnya dilakukan secara sembarangan, atau asal memilih. Sebab, peran pimpinan tidak sebatas sebagai penjaga nahkoda organisasi, melainkan sebagai sumber ide, inspirasi, kekuatan penggerak sekaligus penunjuk arah, yaitu akan dibawa ke mana organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin juga seharusnya tidak saja tahu ke mana organisasi akan di bawa, tetapi juga mengetahui jalan yang harus ditempuhnya, dan bahkan juga mengetahui halangan-halangan dan sekaligus cara mengatasi halangan itu. Pemimpin juga harus mengetahui peta wilayah yang dipimpinnya.
Setiap saat pemimpin juga berperan sebagai pengambil keputusan. Keputusan yang diambil, tentu harus berkualitas, artinya harus tepat terkait dengan tujuan-tujuan jangka pendek, menengah maupun jangaka panjang. Boleh jadi keputusan itu tidak terlalu menguntungkan sebagian kelompok, tetapi tidak mengapa asal strategis untuk kepentingan jangka panjang. Pemimpin harus memiliki pengetahuan tentang itu, termasuk kemampuan melihat jauh ke depan. Karena itu, tugas pemimpin harus tidak henti-hentinya mengkomunikasikan dan menjelaskan tentang pandangannya, keputusan-keputusannya, dan hal itu harus dilakukan berulang-ulang, tidak boleh merasa bosan.
Dalam setiap pemilihan pimpinan, selalu yang muncul adalah kelompok, golongan atau partai. Pikiran, perasaan, aspirasi, emosi seseorang biasanya terikat dalam kelompok, golongan atau partai itu. Padahal perasaan sekelompok, segolongan dan separtai itu tidak jarang mempertumpul pikiran-pikiran rasional. Orang menjadi sangat subyektif dan bahkan pikiran menjadi mati jika seseorang sudah terlalu jauh terpengaruh oleh emosi kelompok, golongan atau partainya. Ideologi, memang biasanya begitu. Bersifat subyektif, irrasional, tertutup, selalu berorientasi menang atau kalah. Hal itu berbeda dengan itu adalah ilmu, yang selalu berusaha menjaga obyektivitas, rasionalitas, keterbukaan dan bukan orientasi sebatas kalah menang, melainkan benar atau salah.
Ideologi memang selalu memiliki kekuatan luar biasa dalam mempengaruhi pikiran dan perasaan. Atas ideologi itu emosi seseorang seringkali menjadi sedemikian mendalam, sehingga keterikatan terhadap kelompok, golongan atau suatu partai, menjadi sangat sulit dipengaruhi oleh logika apapun. Bahkan, sekalipun logika yang dimiliki nyata-nyata terkalahkan, tetap tidak akan menyerah. Lebih aneh lagi, ternyata orang yang telah menyandang tingkat pendidikan setinggi apapun tidak menjamin dapat mematikan emosi ashobiyah ini.
Tatkala sedang memilih pemimpin orang saling mengelompok. Pengelompokan itu biasanya biasanya atas dasar aneka ragam ikatan. Adakalanya ikatan faham keagamaan, suku, asal daerah, afiliasi politik dan lain-lain. Pengelompokkan mana yang lebih menonjol tatkala akan memilih pemimpin, ternyata akhir-akhir ini sudah mulai bergeser, dari hal yang bersifat ideologis kepada kepentingan, dan bahkan terdorong ke arah pertimbangan yang lebih rasional. Allahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar